“Arogansi Kekuasaan dalam Kebijakan Publik: Menyoal Larangan Darma Wisata”
Oleh: Dr. Drs. H.Syahrir, MM / Kepala SMKN 5 Banjarmasin (Pemerhati Pendidikan)
Kekuasaan adalah amanah, bukan senjata untuk memaksakan kehendak sepihak. Dalam sistem demokrasi, setiap keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak mestinya diambil dengan pertimbangan matang, melibatkan partisipasi publik, serta mempertimbangkan dampak jangka panjang secara menyeluruh. Namun, realitas di lapangan kerap kali memperlihatkan wajah lain dari kekuasaan—yakni arogansi. Arogansi kekuasaan tampak ketika seorang pemegang wewenang merasa paling tahu, paling benar, dan paling berhak menentukan arah kebijakan tanpa memberi ruang dialog kepada pihak-pihak terdampak.
Fenomena ini tampak nyata dalam kebijakan kontroversial yang diambil oleh seorang tokoh politik populer di Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Beliau, dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik, melarang kegiatan darma wisata atau study tour yang dilakukan oleh sekolah-sekolah tingkat SMK dan sederajat ke luar daerah, dengan alasan untuk meringankan beban ekonomi orang tua siswa. Di atas kertas, alasan tersebut terdengar cukup mulia. Namun, kebijakan tersebut seolah menjadi contoh klasik pepatah “membunuh seekor tikus dengan membakar lumbung padi”. Alih-alih menyelesaikan masalah, kebijakan itu justru memunculkan rentetan masalah baru yang lebih luas dan dalam.
Kebijakan Kasuistik yang Berdampak Sistemik
Masalah utama dari kebijakan ini bukan hanya soal pelarangannya, tetapi pendekatan kasuistik yang digunakan. KDM berdalih bahwa study tour membebani orang tua siswa. Memang benar, dalam beberapa kasus ditemukan adanya sekolah yang mewajibkan seluruh siswa ikut study tour dengan biaya yang cukup besar, bahkan memberlakukan tekanan psikologis kepada siswa yang tidak mampu. Namun, apakah fenomena ini harus disikapi dengan pelarangan total? Apakah tidak ada solusi yang lebih bijaksana, manusiawi, dan mendidik?
Faktanya, larangan tersebut telah menciptakan kegaduhan baru. Beberapa sekolah di Jawa Barat yang tetap nekat mengadakan kegiatan darma wisata akhirnya harus menerima sanksi keras. Kepala sekolah dinonaktifkan, siswa kebingungan, dan kegiatan belajar mengajar terganggu. Padahal, seperti yang pernah diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, kegiatan darma wisata merupakan bagian penting dari pembelajaran kontekstual yang bertujuan memperluas wawasan dan pengetahuan siswa. Melalui kunjungan ke situs budaya, tempat bersejarah, dan destinasi wisata edukatif, siswa diajak untuk mengenal keberagaman, nilai-nilai historis, dan dinamika sosial secara langsung—sesuatu yang tidak bisa diberikan sepenuhnya di ruang kelas.
KDM, barangkali, lupa bahwa pendidikan tidak hanya berputar pada aspek kognitif semata. Otak manusia terbagi dua: kiri dan kanan serta keduanya perlu distimulasi secara seimbang. Pembelajaran akademik yang bersifat teoretis perlu diimbangi dengan pengalaman empirik yang menyenangkan, menyentuh, dan membekas dalam ingatan siswa. Justru di sinilah kekuatan dari study tour: memberikan kesan yang mendalam melalui pengalaman langsung.
Dampak Luas di Berbagai Sektor
Dampak dari kebijakan ini tidak berhenti di ranah pendidikan. Dunia pariwisata pun turut menjadi korban. Kita tahu bahwa sektor pariwisata adalah salah satu penyumbang utama pendapatan daerah di beberapa provinsi seperti Bali, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Kehadiran rombongan pelajar dalam program study tour menjadi segmen pasar tersendiri bagi industri ini, terutama di masa liburan sekolah.
Sejak diberlakukannya pelarangan oleh KDM, sejumlah informasi menunjukkan bahwa hotel-hotel, restoran, tempat wisata, dan pusat oleh-oleh mengalami penurunan kunjungan. Hal ini berdampak langsung terhadap pelaku UMKM dan pekerja sektor informal yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas wisata pelajar. Di Bali misalnya, banyak hotel yang biasanya penuh oleh rombongan pelajar kini sepi, menyebabkan penurunan pendapatan drastis. Bahkan, sejumlah hotel terpaksa menolak siswa SMK dari jurusan perhotelan yang akan melakukan praktik kerja lapangan (PKL), dengan alasan okupansi kamar menurun dan operasional terbatas.
Kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa efek domino dari kebijakan ini sangat signifikan. Ketika satu sektor lumpuh, sektor lainnya ikut terdampak. Ini bukan hanya soal larangan darma wisata, tetapi soal bagaimana sebuah kebijakan yang diambil tanpa pendekatan holistik dapat menciptakan kerugian kolektif. Sektor pendidikan terguncang, sektor pariwisata terpukul, dan kepercayaan publik terhadap pemangku kebijakan pun ikut tergerus.
Menggugat Arogansi Kekuasaan
Dari sini kita bisa menarik benang merah bahwa kebijakan yang diambil oleh KDM mencerminkan arogansi kekuasaan. Ia bertindak seolah sebagai penentu tunggal kebenaran, tanpa membuka ruang diskusi publik. Tidak ada kajian mendalam, tidak ada pelibatan ahli pendidikan, pelaku industri pariwisata, maupun perwakilan orang tua siswa. Padahal, kebijakan yang baik mestinya berbasis data, mempertimbangkan kepentingan semua pihak, serta berorientasi pada solusi, bukan larangan.
Arogansi kekuasaan tampak ketika seorang pengambil keputusan lebih sibuk menunjukkan kepeduliannya melalui larangan-larangan populis, alih-alih mencari solusi kreatif yang mengakomodasi semua pihak. Jika masalahnya adalah ketidakmampuan sebagian orang tua untuk membayar biaya study tour, maka solusinya bukan dengan melarang semua sekolah untuk mengadakan kegiatan tersebut. Solusinya adalah menciptakan mekanisme yang inklusif dan berkeadilan.
Misalnya, sekolah dapat mengidentifikasi siswa yang tidak mampu dan bekerja sama dengan komite sekolah untuk menggalang subsidi silang. Alumni sekolah yang sudah berhasil bisa diajak berdiskusi dan diajak berkontribusi dalam membiayai siswa kurang mampu. Atau, pihak sekolah dapat merancang program study tour yang lebih hemat biaya namun tetap bermakna, seperti kunjungan ke destinasi lokal yang memiliki nilai edukatif tinggi. Intinya, ada banyak jalan keluar tanpa harus merampas hak semua siswa untuk belajar di luar kelas.
Pendidikan yang Manusiawi dan Holistik
Kebijakan larangan darma wisata juga mencerminkan pandangan sempit tentang pendidikan. KDM seakan memandang pendidikan hanya dari sudut efisiensi ekonomi, tanpa melihat nilai-nilai pedagogis yang terkandung dalam pengalaman lapangan. Padahal, belajar bukan hanya tentang angka-angka, teori-teori, atau hafalan. Belajar juga tentang mengalami, merasakan, dan berinteraksi dengan lingkungan secara nyata.
Dalam konsep pendidikan holistik, kegiatan di luar kelas seperti study tour dianggap sebagai bagian penting dari pengembangan karakter dan sosial emosional siswa. Mereka belajar bekerja sama, mengelola keuangan, merespons tantangan di luar zona nyaman, serta menghargai perbedaan budaya dan kebiasaan. Bahkan, dari sebuah perjalanan sederhana, siswa bisa belajar banyak hal yang tak akan pernah mereka dapatkan dari buku pelajaran.
Apalagi bagi siswa SMK jurusan perhotelan, pariwisata, dan kuliner, kunjungan ke daerah tujuan wisata adalah bagian dari kurikulum tidak resmi yang sangat dibutuhkan untuk membentuk mental profesional. Jika kegiatan ini dilarang, bagaimana mereka bisa membayangkan dunia kerja yang sesungguhnya? Bagaimana mereka bisa memahami dinamika industri yang akan mereka masuki kelak?
Menatap ke Depan: Refleksi dan Harapan
Kebijakan KDM ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua tentang pentingnya kepemimpinan yang empatik, terbuka, dan rasional. Pemimpin bukanlah dewa yang tahu segalanya. Mereka harus bersedia mendengar, berdialog, dan belajar dari kenyataan yang dihadapi masyarakat. Kebijakan publik harus diambil dengan hati, bukan hanya dengan niat populis yang terlihat simpatik di permukaan, tetapi menimbulkan luka yang dalam di lapisan bawah.
Kita tidak menafikan niat baik KDM dalam melindungi keluarga kurang mampu. Namun, niat baik yang dieksekusi dengan cara yang salah bisa menjadi blunder besar. Dalam konteks ini, larangan darma wisata bukanlah solusi, melainkan pemangkasan hak belajar siswa dan pemiskinan makna pendidikan itu sendiri.
Jika semua kepala daerah meniru langkah KDM, bisa dibayangkan betapa suramnya masa depan pendidikan luar ruang kita. Sektor pariwisata akan kolaps, dunia pendidikan akan semakin sempit, dan generasi muda akan kehilangan kesempatan emas untuk belajar melalui pengalaman nyata. Maka, sudah saatnya kita berkata: cukup! Mari kita hentikan praktik-praktik kebijakan otoriter yang bertopeng kepedulian.
Akhir kata, membangun bangsa tidak cukup dengan melarang. Kita harus berani mencari jalan tengah, membuka ruang dialog, dan menghormati kompleksitas realitas. Karena di situlah letak sejati dari kepemimpinan yang adil dan bijak—yakni ketika kekuasaan digunakan bukan untuk melarang, tetapi untuk memberdayakan.