Pentingnya Keterbukaan Manajemen dalam Organisasi Pendidikan: Sebuah Gagasan Kritis dari Kabid GTK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov. Kalsel.

Banjarbaru,SP (19/3/25) – Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan media SP, Kepala Bidang Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan, Fahrudinoor, menyampaikan sejumlah pemikiran mendalam dan kritis tentang kondisi internal organisasi Dinas Pendidikan saat ini. Ia menyoroti pentingnya keterbukaan manajemen serta pelibatan semua elemen organisasi dalam proses pengambilan keputusan, khususnya dalam hal perencanaan dan peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan di wilayah Kalimantan Selatan.
Menurut Fahrudinoor, manajemen organisasi yang terbuka adalah kunci utama untuk membangun institusi pendidikan yang sehat, progresif, dan responsif terhadap kebutuhan dunia pendidikan yang terus berkembang. Ia menekankan bahwa keterbukaan, koordinasi, dan pelibatan semua pihak dalam lingkup organisasi harus menjadi budaya kerja yang dikedepankan, terlebih lagi dalam skala sebesar seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan.
“Dalam organisasi sebesar Dinas Pendidikan, keterbukaan dan pelibatan semua pihak sangat penting. Jika hanya Kepala bidang tertentu yang dilibatkan, sedangkan Kepala bidang GTK tidak dilibatkan, bagaimana kita bisa menghasilkan kebijakan yang relevan dan solutif?” ujar Fahrudinoor dengan nada serius.
Masalah Data Kompetensi GTK: Realitas yang Mengkhawatirkan
Salah satu isu krusial yang diangkat dalam wawancara tersebut adalah tidak tersedianya data kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dalam database Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan. Fahrudinoor secara terbuka mengakui bahwa hingga saat ini, Dinas belum memiliki data yang memadai mengenai pemetaan kompetensi guru dan tenaga kependidikan di jenjang SMA, SMK, dan SLB di Provinsi Kalimantan Selatan.
“Sampai sekarang, kita belum memiliki data kompetensi GTK yang valid di database Dinas. Ini bukan karena tidak ingin, tetapi karena memang belum ada koordinasi yang baik di internal. Bahkan belum ada permintaan data resmi ke kepala-kepala sekolah, karena selama ini Kepala Bidang GTK tidak diberikan ruang tentang hal tersebut” paparnya.
Ketika disinggung oleh media SP mengenai data kebutuhan peningkatan kompetensi guru di daerah, Fahrudinoor mengaku tidak bisa memberikan informasi rinci karena memang data tersebut belum tersedia.
Ketiadaan data ini, menurut Fahrudinoor, sangat menghambat langkah strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Tanpa pemetaan yang jelas, program-program peningkatan kapasitas guru dan tenaga kependidikan tidak akan efektif dan berisiko tidak tepat sasaran.
Kurangnya Koordinasi Internal: Akar Masalah Utama
Fahrudinoor menilai bahwa akar dari persoalan tersebut adalah lemahnya koordinasi di dalam tubuh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan itu sendiri. Ia menyebut bahwa selama ini, Kepala Bidang Pembinaan GTK belum dilibatkan secara optimal dalam penyusunan program kerja atau pengambilan kebijakan terkait sumber daya manusia pendidikan.
“Sejujurnya, selama ini Kepala Bidang GTK tidak pernah diajak dalam menyusun program. Ini ironis, karena kami adalah bidang yang langsung berurusan dengan para guru dan tenaga kependidikan. Bagaimana mungkin kami tidak difungsikan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kami?” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa ketidakterlibatan bidangnya dalam pengambilan keputusan strategis mencerminkan budaya kerja organisasi yang masih jauh dari prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Menurutnya, budaya “like and dislike” atau suka tidak suka masih sangat kental mewarnai dinamika organisasi di Dinas Pendidikan.
“Seharusnya semua pihak dalam organisasi diajak bicara. Apalagi kepala bidang. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Kalau kita bicara organisasi sehat, maka semua orang harus terlibat. Ini bukan soal siapa yang dekat dengan siapa,” tegas Fahrudinoor.
Organisasi Harus Inklusif dan Transparan
Lebih lanjut, Fahrudinoor menggarisbawahi pentingnya menciptakan iklim organisasi yang inklusif dan transparan. Ia menyebutkan bahwa keberhasilan organisasi tidak bisa bergantung hanya pada satu-dua orang saja, melainkan harus menjadi hasil kerja kolektif dari seluruh bagian.
“Organisasi besar seperti Dinas Pendidikan tidak bisa dikelola dengan pendekatan elitis. Semua orang harus terlibat, dari staf hingga kepala bidang sampai kepada Kepala Dinas,Jangan sampai kita hanya menyusun program berdasarkan asumsi atau kedekatan personal,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa keberadaan bidang GTK seharusnya menjadi pilar utama dalam menyusun kebijakan peningkatan kompetensi pendidik, bukan hanya pelengkap yang hanya dilibatkan ketika ada kegiatan teknis.
“Kami ingin terlibat sejak awal. Kami punya pengalaman, punya jaringan, dan punya pemahaman langsung tentang kondisi guru di lapangan. Jika kami dilibatkan, program akan lebih tepat sasaran dan berdampak nyata,” tutur Fahrudinoor.
Harapan akan Perubahan
Di akhir wawancara, Fahrudinoor menyampaikan harapannya agar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan kedepan bisa melakukan evaluasi internal secara menyeluruh. Ia berharap budaya kerja yang menekankan kolaborasi, keterbukaan, dan profesionalisme dapat mulai diterapkan secara nyata dalam tubuh organisasi.
“Saya percaya perubahan itu mungkin. Tapi harus dimulai dari kesadaran pimpinan untuk melibatkan semua pihak. Kita harus keluar dari pola lama dan mulai membangun sistem yang sehat,” ujarnya dengan optimis.
Ia juga menyatakan kesiapan Kepala Bidang GTK untuk berkontribusi lebih aktif dalam menyusun strategi-strategi pengembangan sumber daya manusia pendidikan, sepanjang diberikan ruang yang adil dan fungsional sesuai tugas pokok dan fungsinya.
“Kami siap bekerja, siap berkontribusi. Tapi berikan kami ruang. Jangan hanya menempatkan kami sebagai pelengkap. Bidang GTK punya peran vital yang tidak bisa dikesampingkan,” pungkasnya.
Penutup
Wawancara ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang tata kelola organisasi pendidikan di tingkat provinsi. Apa yang disampaikan Fahrudinoor menjadi semacam alarm bahwa dibutuhkan perbaikan serius di dalam tubuh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan, terutama dalam hal koordinasi, keterbukaan, dan pelibatan lintas bidang.
Tanpa adanya data yang akurat dan sistem koordinasi yang solid, program peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan akan berjalan dalam kegelapan. Semoga dengan kritik dan gagasan yang konstruktif ini, roda organisasi bisa bergerak lebih sehat dan efektif ke depannya.(SP)