Kontradiksi Kebijakan Deep Learning dan Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan 2026
Dr. Drs. H. Syahrir, MM (Kepala SMKN 5 Banjarmasin / Pemerhati Pendidikan)

Kementerian Pendidikan dasar dan menegah (Kemendikdasmen) berencana menghidupkan kembali Ujian Nasional (UN) pada tahun 2026 sebagai penentu kelulusan siswa, seperti yang disampaikan Menteri pendidikan Dasar dan menengah, Kebijakan ini memicu perdebatan sengit, terutama ketika dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran modern berbasis deep learning yang banyak dianut dalam sistem pendidikan kontemporer. Dari perspektif filosofis, kedua pendekatan ini tampak bertentangan secara mendasar.
Deep Learning: Konstruktivisme dalam Pendidikan
Deep learning dalam konteks pendidikan merupakan filosofi yang berpijak pada teori konstruktivisme, yang beranggapan bahwa siswa membangun pemahaman melalui keterlibatan aktif, refleksi mendalam, dan pengalaman bermakna. Pendekatan ini memprioritaskan:
Pembelajaran Bermakna: Materi pelajaran harus relevan dengan kehidupan siswa, sehingga mereka mampu menghubungkan pengetahuan baru dengan pengalaman mereka.
Keterlibatan Aktif: Siswa tidak hanya menjadi objek pembelajaran, tetapi juga aktor utama yang secara aktif mengeksplorasi, menganalisis, dan memecahkan masalah.
Pengembangan Keterampilan Berpikir Kritis: Proses pembelajaran menekankan pada analisis, evaluasi, dan sintesis informasi, sehingga siswa dapat memahami konsep secara mendalam, bukan sekadar menghafal fakta. Melalui pendekatan ini, pendidikan menjadi sarana untuk mengembangkan kemampuan siswa yang holistik, termasuk keterampilan interpersonal, kreativitas, dan pemecahan masalah.
Ujian Nasional: Behaviorisme dalam Evaluasi PendidikanSebaliknya, Ujian Nasional berpijak pada prinsip behaviorisme, yang menitikberatkan pada hasil belajar yang dapat diukur secara objektif melalui tes standar. Prinsip utama yang melandasi UN adalah:
Evaluasi Hasil Belajar: Fokusnya adalah pada kemampuan siswa menjawab soal berdasarkan materi yang telah diajarkan.
Keseragaman Standar: Ujian ini dirancang untuk memberikan standar yang sama bagi seluruh siswa di tingkat nasional.
Pengukuran Objektif: Hasil ujian dianggap representasi kemampuan siswa, terlepas dari proses pembelajaran yang mereka lalui.Meskipun Ujian Nasional memiliki kelebihan, seperti memberikan data terukur untuk evaluasi kebijakan pendidikan, pendekatan ini sering dikritik karena:
Mengabaikan Keberagaman: Siswa dengan latar belakang sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda dipaksa mengikuti standar yang seragam.
Memusatkan pada Hasil Akhir: Proses pembelajaran siswa tidak dihargai, sementara tekanan tinggi pada hasil ujian dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka.
Kontradiksi Filosofis: Deep Learning vs. Ujian Nasional
Kontradiksi antara pendekatan deep learning dan Ujian Nasional terletak pada orientasi keduanya. Deep learning bertujuan untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna dan relevan, sementara Ujian Nasional hanya menilai hasil akhir melalui pendekatan yang seragam. Ketika kebijakan Ujian Nasional diberlakukan kembali, ada risiko bahwa semangat reformasi pendidikan yang menekankan pengembangan keterampilan abad ke-21 akan tereduksi menjadi sekadar persiapan menghadapi ujian standar.
1. Perbedaan Tujuan
Deep learning berorientasi pada pengembangan keterampilan hidup yang berkelanjutan, seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah. Sebaliknya, Ujian Nasional hanya mengukur kemampuan kognitif berdasarkan kurikulum yang telah ditetapkan. Dengan demikian, menghidupkan kembali UN sebagai penentu kelulusan akan mendorong sekolah dan siswa untuk berfokus pada pembelajaran berbasis hafalan, yang bertolak belakang dengan tujuan utama pendidikan berbasis konstruktivisme.
2. Metode Evaluasi yang Tidak Sejalan
Dalam pendekatan deep learning, evaluasi dilakukan secara holistik melalui berbagai metode, seperti portofolio, proyek, dan observasi. Ujian Nasional, sebaliknya, mengandalkan satu metode tunggal berupa tes pilihan ganda atau uraian yang mengutamakan jawaban benar atau salah. Metode evaluasi UN tidak memberikan ruang bagi siswa untuk menunjukkan kreativitas, pemikiran kritis, atau kemampuan berkolaborasi, yang justru menjadi inti dari pendekatan deep learning.
3. Dampak pada Motivasi Belajar
Pendekatan deep learning mendorong siswa untuk belajar karena motivasi intrinsik—keinginan untuk memahami dan menemukan makna dalam pembelajaran. Sebaliknya, Ujian Nasional sering kali memunculkan motivasi ekstrinsik, seperti tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi atau lulus ujian. Tekanan ini dapat menciptakan lingkungan belajar yang tidak sehat, di mana siswa lebih berfokus pada strategi menghafal materi daripada memahami konsep secara mendalam.
4. Ketidaksesuaian dengan Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka yang sedang diimplementasikan di Indonesia menekankan pada fleksibilitas, pembelajaran berbasis proyek, dan pengembangan profil pelajar Pancasila. Kembalinya Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan bertentangan dengan semangat Kurikulum Merdeka, karena mendorong homogenisasi pembelajaran yang bertentangan dengan prinsip fleksibilitas.
Dampak Sosial dan Psikologis
Selain bertentangan secara filosofis, kembalinya Ujian Nasional juga memiliki dampak sosial dan psikologis yang signifikan.
Tekanan pada Siswa dan Guru: Fokus pada hasil ujian akan menciptakan tekanan besar bagi siswa untuk mencapai nilai tertentu, yang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental mereka. Guru juga akan terdorong untuk mengajar hanya demi ujian, bukan untuk membangun pemahaman mendalam pada siswa.
Ketimpangan Pendidikan: Dalam konteks Indonesia yang beragam, Ujian Nasional tidak memperhitungkan perbedaan fasilitas pendidikan di berbagai daerah. Siswa dari daerah tertinggal kemungkinan besar akan mengalami kesulitan bersaing dengan siswa dari daerah maju.
Rekomendasi Kebijakan
Untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan relevan dengan kebutuhan zaman, diperlukan kebijakan yang mengintegrasikan prinsip-prinsip deep learning dengan sistem evaluasi yang lebih holistik. Beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan adalah:
Mengembangkan Sistem Evaluasi Alternatif: Menggantikan Ujian Nasional dengan metode evaluasi berbasis proyek, portofolio, dan asesmen formatif yang lebih mencerminkan kemampuan siswa secara menyeluruh.
Peningkatan Kapasitas Guru: Memberikan pelatihan kepada guru untuk mengimplementasikan pendekatan deep learning dalam pembelajaran, sehingga siswa dapat terlibat aktif dan memahami materi secara mendalam.
Penyesuaian Kurikulum dan Evaluasi: Mengintegrasikan tujuan Kurikulum Merdeka dengan sistem evaluasi yang mendukung pembelajaran bermakna, tanpa menempatkan tekanan yang berlebihan pada siswa.
Peningkatan Akses dan Keadilan Pendidikan: Memastikan seluruh siswa memiliki akses yang setara terhadap sumber daya pendidikan, sehingga hasil belajar tidak semata-mata bergantung pada latar belakang sosial atau geografis.
Kesimpulan
Menghidupkan kembali Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan pada tahun 2026 adalah langkah yang kontradiktif dengan semangat pendidikan modern berbasis deep learning. Dalam era yang membutuhkan keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kolaboratif, pendekatan evaluasi berbasis tes standar tidak lagi relevan. Sistem pendidikan Indonesia perlu bergerak menuju pendekatan yang lebih inklusif dan fleksibel, yang menghargai proses pembelajaran siswa dan mendukung pengembangan keterampilan hidup abad ke-21. Dengan mengadopsi kebijakan yang sejalan dengan prinsip deep learning, Indonesia dapat menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga siap menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.